Sabtu, 09 Februari 2013

" ZAKHEUS (Lukas 19:7) "


LUKAS 19 : 7
"Tetapi semua orang yang melihat
hal itu bersungut-sungut, katanya:
"Ia menumpang di rumah orang
berdosa."

Semua orang ingin terus lebih
baik lagi dari hari ke hari. Terus belajar dan mendalami Firman Tuhan, menjauhi kejahatan, menghindari
berbuat dosa dan menjaga
kekudusan, terus berubah menjadi
semakin baik, itu semua tentu saja sangat baik untuk dilakukan. Jika
itu sudah atau sedang anda
lakukan hari ini maka anda sedang
terus semakin mendekati dan
mencerminkan pribadi Kristus.
Tetapi berhati-hatilah, karena di balik proses itu apabila kita tidak
hati-hati maka kita bisa dengan
gampang dirasuk dosa
kesombongan. Kita bisa
terjerumus ke dalam sebuah perasaan yang menganggap diri kita paling suci, paling bersih,
paling benar dan kemudian merasa
punya hak untuk menghakimi
orang lain. Kita bisa menjadi
orang yang merasa diri paling
sempurna dan dengan cepatnya menjatuhkan "vonis" kepada orang
lain. Jika dibiarkan, maka kita pun
akan menjadi komentator-
komentator cerewet yang penuh
kesinisan dan kenegatifan. Si A
berdosa ini, si B dosanya itu, gereja itu sesat, gereja ini tidak
benar dan sebagainya. Begitu
mudahnya kita memvonis orang,
bahkan dengan berani menyatakan
siapa yang ke surga atau neraka.
Semakin banyak yang kita kritik maka rasanya semakin hebat pula
diri kita. Bahkan di kalangan
hamba-hamba Tuhan gejala seperti
inipun bisa saja terjadi. Ini
bukanlah hasil yang diharapkan
dari sebuah pertobatan dan usaha menguduskan diri. Alih-alih
menjadi garam dan terang dunia,
kita malah bisa terperangkap
dalam sikap yang cenderung
menjauhi mereka yang sebetulnya
sedang butuh pertolongan agar tidak binasa. Dan disisi lain itu
sama saja seperti kita sedang
membinasakan diri sendiri.

Terjebak dalam sikap merasa diri
paling berhak, layak dan benar ini
sudah dipertontonkan sejak lama
oleh para orang Farisi. Mereka ini
adalah tokoh-tokoh pemuka agama
yang berhak memutuskan segala sesuatu, haram dan halal pada masa
itu. Mereka merasa superior
karena mengetahui dan hafal
terhadap hukum Taurat dan
menganggap diri mereka sebagai
representatif Tuhan di muka bumi ini, sehingga merasa punya
hak untuk menghakimi orang lain
sesuai pendapat atau keinginan
mereka. Orang-orang Yahudi pun
sama saja, mengikuti sikap yang
salah dari para pemimpin agama mereka ini. Sementara di sisi lain,
Yesus datang ke muka bumi ini
justru untuk menyelamatkan
domba-domba yang hilang, atau
sebagai tabib yang menyembuhkan
orang sakit, seperti apa yang dikatakan Yesus dalam Lukas 5:31,
"Bukan orang sehat yang
memerlukan tabib, tetapi orang
sakit." Dan Yesus tidak pandang
bulu dalam menyelamatkan orang.
Ia bertemu dan bersinggungan dengan begitu banyak orang
dengan latar belakang yang
berbeda-beda dan masalah berbeda-
beda, tetapi semua sama layaknya untuk menerima keselamatan,
karena Tuhan mengasihi semua
manusia tanpa terkecuali. Dia tetap membuka kesempatan untuk
bertobat bagi siapapun tanpa
menimbang terlebih dahulu berat
ringannya dosa atau pantas
tidaknya seseorang untuk
diselamatkan. Antara orang Farisi dan Yesus terdapat perbedaan
yang sungguh nyata mengenai
sikap dalam menghadapi orang
berdosa.

Salah satu contoh nyata yang
menggambarkan perbandingan
kontras mengenai sikap atau cara
pandang antara Farisi dan Yesus
ini bisa kita lihat dalam kisah
perjumpaanNya dengan Zakheus sang pemungut cukai. Sosok
Zakheus cukup jelas digambarkan
di dalam Alkitab: "Di situ ada
seorang bernama Zakheus, kepala
pemungut cukai, dan ia seorang
yang kaya. Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu,
tetapi ia tidak berhasil karena
orang banyak, sebab badannya
pendek." (Lukas 19:2-3). Zakheus
yang berbadan pendek ini adalah
seorang pemungut cukai yang kaya. Pada masa itu orang Yahudi
terutama para ahli Taurat
menggolongkan para pemungut
cukai ini sebagai orang berdosa.
Dicap sampah masyarakat, pendosa,
bahkan digolongkan dalam satu kelas bersama orang lalim,
penzinah dan perampok (Lukas
18:11). Para pemungut cukai ini
biasanya dicemooh dan dipandang
hina, bahkan uang mereka tidak
diterima sebagai persembahan. Zakheus ada dalam kelompok ini.
Tapi sepertinya Zakheus punya
kerinduan yang sangat besar
untuk dapat bertemu Yesus yang
ia idolakan. Sayang badannya
pendek, sehingga sulit baginya untuk bisa melewati orang-orang
lain yang berpostur lebih tinggi
darinya. Tapi ia tidak menyerah, ia
pun berusaha sedemikian rupa
dengan memanjat pohon ara.
(Lukas 19:4). Usahanya berhasil. "Ketika Yesus sampai ke tempat
itu, Yesus melihatnya dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab
hari ini Aku harus menumpang di
rumahmu." (ay 5). Bisa dibayangkan betapa terkejutnya
Zakheus. Tidak saja melihat dan
berbicara kepadanya, tapi Yesus
bahkan berkenan untuk masuk dan
menumpang dirumahnya. Tentu
saja hal ini disambut Zakheus dengan sukacita. Tapi lihatlah apa
yang dikatakan kerumunan orang
Yahudi dan orang-orang Farisi. "Tetapi semua orang yang melihat
hal itu bersungut-sungut, katanya:
"Ia menumpang di rumah orang
berdosa." (ay 7). Mereka beranggapan bahwa Zakheus itu
sangat hina sehingga Yesus
seharusnya tidaklah pantas sama
sekali untuk mendatangi rumah
orang sehina dia. Kontroversial?
Jelas. Tapi perhatikanlah bahwa cara pandang mereka ini
sesungguhnya menutup pintu
dari orang lain yang
berkesempatan untuk
diselamatkan. Mereka hanya
dengan mudah menghakimi dan memberi cap tanpa mau berbuat
apa-apa. Apa yang terjadi sungguh luar biasa.
Tuhan Yesus menganugerahkan
keselamatan kepada Zakheus
sebagai buah pertobatannya. Bukan saja kepada diri Zakheus
sendiri, namun seluruh anggota
keluarganya pun turut
diselamatkan. Yesus pun menutup
jawaban terhadap protes
kerumunan orang-orang yang merasa lebih benar ini dengan "Sebab Anak Manusia datang
untuk mencari dan
menyelamatkan yang hilang." (ay 10).

Dari kisah ini, siapa yang ingin
kita teladani? Yesus atau para ahli
Taurat dan orang-orang Yahudi
yang merasa dirinya sudah lebih
baik dari orang lain? Adakah hak
kita memvonis atau menjatuhkan penghakiman terhadap orang lain
dan merasa kita lebih hebat dari
mereka? Kalau Yesus saja
mengasihi tanpa pandang bulu
dan memberi kesempatan yang
sama bagi siapapun untuk bertobat tanpa menimbang berat
ringannya dosa yang pernah
dibuat, siapalah kita yang merasa
jauh lebih berhak untuk menilai
orang lain dan menentukan
kemana mereka nanti bakal ditempatkan. Tanpa sadar manusia
sering membanding-bandingkan
diri mereka dengan orang lain,
mencari-cari kesalahan orang lain
agar diri mereka terlihat hebat.
Itu bukanlah cerminan pribadi Kristus. Membuang muka,
mencibir, menghina, menjaga
jarak juga merupakan bentuk-
bentuk penghakiman yang
seharusnya bukan menjadi hak
kita. Padahal mungkin Tuhan memberi kesempatan kepada
mereka untuk berbalik kembali ke
jalan yang benar lewat kita.
Dengan sikap yang salah, kita pun
menyia-nyiakan kesempatan
untuk menjadi berkat bagi mereka yang butuh pertolongan.Kita
gagal untuk memenangkan jiwa
bagi Kerajaan Allah dan dengan
demikian gagal untuk melakukan
tugas yang telah diamanatkan oleh
Yesus sendiri.

Ingatlah bahwa perkara
menghakimi adalah mutlak milik
Tuhan. "Jangan kamu
menghakimi, supaya kamu tidak
dihakimi. Karena dengan
penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan
dihakimi dan ukuran yang kamu
pakai untuk mengukur, akan
diukurkan kepadamu." (Matius
7:1-2). Yesus datang justru untuk
mencari dan menyelamatkan yang hilang, dan kepada kita pun telah
diberikan amanat agung disertai
pesan untuk menjadi terang dan
garam di dunia ini. Semua itu
tidak akan pernah bisa kita
laksanakan apabila kita masih memiliki hati yang angkuh yang
merasa berhak menghakimi,
menilai, mencap, atau memvonis
orang lain sesuka kita. Oleh
karena itu, jauhilah perilaku
seperti para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa
diri mereka begitu benar sehingga
layak untuk menghakimi dan
menjauhi orang lain. Seperti
Yesus yang tetap mengasihi dan
mau mengulurkan tanganNya, kasihilah mereka, karena mereka
pun layak beroleh kesempatan
untuk selamat..!!


IMMANUEL
JESUS BLESSING

Tidak ada komentar:

Posting Komentar